Selasa, 12 April 2011

Orang Miskin Jakarta Berebut Nasi Sisa Pesta

Riski Adam |

Jumat, 14/01/2011 02:43 WIB
kissdefella-shamri69.blogspot.com
Jakarta - Aktivis Gerakan 77-78, M Hatta Taliwang mengungkapkan bahwa kini semakin banyak orang miskin di Jakarta yang terlihat berebut nasi dan makanan sisa pesta.

"Pemandangan itu menjadi keseharian saya dan tim kami yang gemar melakukan observasi kemiskinan di sejumlah kota, terutama Jakarta," ungkapnya seperti yang dilansir kantor berita nasional ANTARA, Kamis (13/1/2011).

Ia bersama kawan-kawannya mendapat kesimpulan sementara bahwa telah terjadi peningkatan sangat besar jumlah orang miskin yang suka berebut makanan sisa pesta, jika dibandingkan dengan sepuluh tahun silam, atau di awal reformasi lalu.

"Selain berebut nasi dan makanan sisa pesta di berbagai restoran serta gedung-gedung mewah lainnya. Kemiskinan rakyat juga terungkap dari makin meningkatnya warga yang hanya bisa makan nasi jemuran," ujarnya.

Hal tersebut, menurut Hatta, bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi di berbagai pelosok Indonesia, utamanya di Pulau Jawa.

"Di Jakarta memang sangat ketara. Tadi pagi kebetulan saya ketemu seorang ibu di sebuah gang di kawasan Pejompangan yang sedang siap-siap menjemur nasi sisa-sisa dari tetangganya," ungkapnya.

Kepada Hatta Taliwang, si ibu memaparkan, dia tidak mampu lagi beli beras dan karenanya hanya bisa menjemur nasi sisa tetangga sebagai makanan kesehariannya. Dia dan keluarganya mengaku tidak mampu lagi membeli beras yang harganya naik sangat tinggi.

"Dia akan menjemur nasi sisa tetangganya tersebut, lalu setelah kering dikukus, diberi garam sedikit dan kelapa, atau yang populer disebut 'nasi aking', maka siap untuk dimakan," katanya.

Namun, kalau si ibu butuh uang, lanjutnya, ternyata kelebihan 'nasi aking' tersebut akan dijual seharga Rp 2.000 per kilogram.

"Ini kan fakta kemiskinan di Jakarta yang notabene dekat dengan para elite penguasa kita. Tetapi dari teman sesama aktivis saya mendapat info banyak orang miskin di mana-mana sering berebut nasi sisa pesta yang akan dibuang para office boy ke tempat sampah," ujarnya lagi.

M Hatta Taliwang juga mengungkapkan, selain pengelola 'nasi aking', kini juga para 'tukang nyiping' bertambah dari waktu ke waktu.

"Di berbagai pasar, ada mereka yang berprofesi memungut beras tercecer di sekitar tempat penjualan beras, atau yang disebut 'tukang nyiping'. Jumlah mereka terus bertambah banyak di semua pasar. Kalau tahun-tahun sebelumnya mungkin hanya kurang dari 10, kini di atas 50-an per pasar," paparnya.

Mereka semua, menurutnya, mengandalkan hidupnya dari beras tercecer untuk ditanak sehari-hari.

"Ini kenyataan yang beberapa tahun lalu tidak kita jumpai begitu marak di ibukota," jelasnya.

Makanya, ia bertanya, masihkah kita semua percaya dengan angka kemiskinan yang berkurang?

"Gambaran di atas baru di Jakarta. Bagaimana dengan mereka yang jauh dari ibukota? Inilah salah satu output kebijakan yang keliru dari para elite masa kini dan waktunya untuk diubah, bukan ditutup-tutupi atau dibantah dengan memberi angka bayang-bayang saja," kata M Hatta Taliwang. (rsk/rsk)
Sumber: 

Jumat, 01 April 2011

Lounching Buku Pemberdayaan

Sebuah buku yang berkisah tentang pemberdayaan masyarakat di Indonesia telah dilounching pada 31 Maret 2011 di Hotel Mulia Jakarta, dalam rangka peringatan puncak ulang tahun PT Amythas ke-40.  Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari materi Seminar Reinventing Pemberdayaan Masyarakat Menuju Indonesia Masa Depan. tgl 15 Maret 2011 lalu. Penulisnya terdiri dari akademisi, pemerhati, LSM, pemerintah, swasta, antara lain Emha Ainun Nadjib, Prof MZ Lawang (UI), Prof GUnawan Sumodiningrat (UGM), Sujana Royat (Menkokesra), PT Aqua, LKM, Wagub Jatim, dll. 
Hasil seminar tersebut kemudian diedit oleh Tim Editor. 
Sebagai anggota Tim Editor, saya 'kebagian tugas' mengedit 2 makalah paparan Sujana Royat dan Tulisan LKM Duren Kaya. Foto cover depan juga adalah hasil 'bidikanku sewaktu mengunjungi kab. Jeneponto (Sulsel) beberapa waktu sebelumnya. Dan bagian cover belakang  buku tersebut saya menulis seperti ini :

Reinventing Pemberdayaan Masyarakat menuju Indonesia Mada Depan
                                                                                                                                                       
Mencintai Indonesia, Memanusiakan Manusianya.
Di hamparan bumi pertiwi Indonesia tercinta saat ini, hampir tak ada lagi rentang waktu dan ruang–ruang sosial yang kosong dan sepi dari ‘pergolakan dan pertarungan’ ideologis dan mazhab pemberdayaan masyarakat. Bahkan dalam ‘ruang’ yang lebih  sempit bernama pusat dan daerah, sektoral dan bidang, kepentingan ideologi dan mazhab pemberdayaan ini malah mencapai puncak ‘pergulatannya’ dengan segala bentuk variannya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang apa dan siapa yang memberdayakan dan diberdayakan; Apakah betul pemerintah lebih berdaya dari rakyatnya ? Bagaimana dan dimana semestinya pemberdayaan dilakukan, akan tetap menjadi pertanyaan abadi yang tak menemukan jawaban jika kita mengabaikan, tetap menutup mata dan tak mau belajar menemukan hikmah dan kearifan dari praktek-praktek cerdas para pemberdaya sejati  di masyarakat, pemerintah dan sektor swasta.
Momentum 40 Tahun eksistensi PT. AMYTHAS - “Berkhidmat Membangun Negeri”-, Buku ini dipersembahkan untuk merefleksikan rasa syukur pada Sang Khaliq dan kecintaan terhadap bangsa dan manusia Indonesai. 
Ingin melihat Indonesia Masa Depan ? Cintailah Negeri Ini dan Manusiakanlah Manusianya !














Selamat membaca !!!

Kamis, 17 Maret 2011

Reinventing Pemberdayaan Masyarakat Menuju Indonesia Masa Depan







Seminar sehari yang mengambil Tema : Reinventing Pemberdayaan Masyarakat Menuju Indonesia Masa Depan, menghadirkan narasumber antara lain : Prof. Dr Robert Lawang (Sosiolog UI), budayawan Emha Ainun Nadjib, Prof. Gunawan Sumidiningrat, Wakil Gubewrnur Jatim, Unsur LSM, Perusahaan, Kelembagaan Masyarakat. Dilaksanakan di Hotel Bidakara Jakarta dalam rangka Ulang Tahun PT Amythas, tgl 15 Maret 2011. Seminar tersebut 'reinventing' beberap point penting antara lain:
Mazhab-mazhab pemberdayaan masyarakat yang ada merupakan acuan untuk membangun, bukan untuk diikuti tanpa refleksifitas.
Pemberdayaan masyarakat hendaknya tetap mengadopsi  prinsip-prinsip modernitas yang berkolaborasi positif dengan nilai-nilai lokalitas sehingga menghasilkan norma baru kehidupan bernegara-bermasyarakat yang menyatukan sumberdaya dan aturan menjadi satu struktur sosial yang fungsional  dan secara kontinyu disempurnakan melalui refleksifitas dan praktek untuk meningkatkan kesejahteran sosial.
Implementasi pemberdayaan, sejatinya harus didasari oleh prinsip-prinsip keihlasan untuk berbuat kebajikan dan kepedulian tanpa syarat  untuk selalu dan selamanya memberi manfaat bagi sesama .  
§Dalam proses pemberdayaan, Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta bukanlah pihak-pihak yang saling berhadapan dalam hubungan dominatif –fatalistik, tetapi  merupakan pihak-pihak yang saling menyempurnkan sesuai kapasitas peran masing-masing.
§Untuk menjaga efektifitas program pemberdayaan masyarakat  diperlukan satu Gerakan Nasional Pembangunan Kesejahteraan Sosial-ekonomi yang juga sebagai gerakan nasional pembangunan bangsa.  Adanya  integrasi visi, misi, implementasi  pembangunan bangsa yang menyatu dengan pelaksanaan di masyarakat dalam lingkup makro dengan mikro, pusat dan daerah.
Membangun  Indonesia dimulai dari terbangunnya ”ruh” pembangunan manusia yakni keluarga yang sehat-bahagia-sejahtera di desa.
§Refleksi pengalaman ORNOP, CSR Perusahaan dan pelaksanaan program pemberdayaan pemerintah,  menegaskan bahwa pelaku pemberdaya hendaknya tetap berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat berdasarkan konteks hubungan interaksi yang dihadapi.
§Implementas untuk integrasi perencanaan pembangunan daerah sangat bergantung pada usaha semua pemangku kepentingan, baik Pemerintah Pusat dan Daerah, DPRD, dan organisasi masyarakat sipil, sementara institusi eksternal dapat berperan mendukung pelatihan, bantuan teknis, dan pertukaran pengalaman.
§Adanya kesadaran hak masyarakat untuk menyuarakan keinginan dan pendapatnya serta akuntabilitas pejabat penyelenggara pemerintahan akan menghasilkan Musrenbang yang dapat menjadi pendorong utama perencanaan dan penganggaran partisipatif.

‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam

Senin, 07 Maret 2011, 19:27 WIB
123people.com
‘Kalah’ Melawan Alquran, Dr Jeffrey Lang Menerima Islam
Dr Jeffrey Lang
REPUBLIKA.CO.ID-Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS:  Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”

Minggu, 06 Februari 2011

MANUSIA UNGGULAN DALAM PERSPEKTIF TASAWUF

Manusia unggulan dalam perspektif tasawuf, mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok, yaitu tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama.

�Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.� (QS. At-Tin: 4-6).

Di dalam ayat tadi disebutkan manusia adalah makhluk unggulan karena peran gandanya, peran sebagai �abid seperti terindikasikan dalam ungkapan �man� dan peran sebagai khalifah seperti terindikasikan dalam ungkapan wa �amil� as-sh�lih�t. Konsep �abid menunjukan hubungan vertikal (hablum minallah), dan itu lebih bersifat personal. Sementara konsep khalifah, terkait dengan tanggung jawab sosial, hubungan horizontal (hablum minannas). Kalau �abid itu tanggung jawab personal dengan Tuhan, sedang khalifah itu adalah tanggung jawab sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia. Karena Allah selalu menggandengkan dua kalimat itu hampir di semua ayat-ayat-Nya, manusia unggulan akan selalu melakukan kedua peran itu secara bersamaan. Dengan demikian, kualitas manusia menurut perspektif tasawuf dilihat dari peran ganda ini.

Pada suatu hari Umar bin Khattab Ra. pernah ditanya, �kenapa engkau tidak pernah tidur?� Umar menjawab, �kalau saya tidur di malam hari bagaimana saya bisa dekat kepada Allah Swt, karena sepanjang hari waktu habis untuk mengurus umat.� Jadi, waktu dia sepanjang hari habis untuk melayani umat, karena dia seorang khlaifah. Tapi malam hari, ia selalu bangun malam untuk beribadah. Yang demikian itu adalah contoh konkrit amalan tasawuf yang berpijak dari ayat dimaksud.

Masih banyak orang berasumsi bahwa aktifitas tasawuf hanya terbatas pada dzikir-dzikir, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya (hablu minallah), sementara sisi ibadah sosial (hablu minannas) diabaikan. Asumsi seperti itu tentu saja tidak benar, karena ibadah sosial juga tidak kalah pentingnya dibandingkan ibadah ritual. Bahkan, tidak jarang karena mengabaikan ibadah sosial, ibadah ritual bisa menjadi tidak berarti. Itu merupakan inti dari tujuan tasawuf, seperti disinyalir dalam surah al-Ma�un;

�Apakaha anda tahu orang yang mendustakan agama itu? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang yang shalat.� (QS. Al-Ma�un: 1- 4).

Ayat �maka celakalah bagi orang yang shalat� disebutkan setelah dua ayat yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Itu adalah suatu gambaran bahwa pelaku shalat yang tidak peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, lemah, tidak mampu, dan tidak memberikan dampak sosial yang baik yang direalisasikan melalui interaksi mereka dengan sesamannya, justru shalatnya itu akan mencelakakannya.

Lebih jelas lagi diceritakan dalam sebuah hadis, ada seorang wanita yang rajin shalat di malam hari dan rajin puasa di siang hari, tetapi Rasul mengatakan dia itu masuk neraka, tentu saja para sahabat menunjukan keheranannya dan bertanya alasannya kepada Rasulullah Saw, beliau menjawab, �ia masuk neraka karena ia selalu menyakiti hati tetangganya dengan lidah�. (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Berdasarkan hadis tersebut, seakan-akan shalat dan puasa yang dilakukan wanita tadi tidak berarti sama sekali, lantaran ia tidak mau berkomunikasi secara baik dengan tetangga atau sesamanya.

Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan ini mempunyai kedudukan penting, sehingga dihargai lebih tinggi dari pada ibadah-ibadah ritual.

Mantan syekh Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan cukup sukses.

Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaharu sosial yang sangat sufistik, begitu juga Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme.

Pada suatu ketika, ada seorang sahabat Rasulullah Saw. melewati sebuah lembah yang cukup indah dan memesona. Lembah itu mempunyai mata air yang jernih dan segar, sehingga sahabat itu berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya di lembah yang jauh dari keramaian masyarakat itu, dan ia ingin mengisinya dengan shalat, puasa, dzikir, berdo�a kepada Allah Swt. Kemudian maksud itu diberitahukan kepada Rasulullah Saw, dan beliau berkata:

�Jangan lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah anda ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga? Berjuanglah di jalan Allah�. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan juga:

�Dari Abu Umamah, dia bercerita: �Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah gua yang di situ ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, �Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw. aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak�. Maka, datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata, �Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka, aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia.� Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw. menjawab, �Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekeristenan. Aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanafiyatu al-samha�). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang�petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.� (H.R. Ahmad).

Berjuang atau pergi di jalan Allah Swt. adalah hidup di tengah-tengah masyarakat dan ikut berperan serta dalam membangun, memberikan yang terbaik bagi sesama, menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang, menyerukan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan mungkar, dan peran-peran kemanusiaan lainnya, karena kehadiran seorang muslim sebagai anggota masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk suatu perubahan masyarakat.

Ada beberapa hadis menjelaskan tentang manusia terbaik, dan semua itu bermuara pada sikap perbuatan yang dilakukan antar sesama, di antara hadis- hadis itu adalah:

�Manusia yang paling baik ialah yang paling baik akhlaknya. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya kepada sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling baik dalam membayar hutangnya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada isteri dan anak-anaknya. Yang paling baik di antara kamu adalah engkau masukan rasa bahagia kepada hati saudaramu yang mukmin.�

Sekali lagi, kebanyakan ayat al-Qur�an ketika menyebut kata �man� (ibadah ritual) selalu digandengkan dengan kata wa �amil� as-sh�lih�t (ibadah soaial), karena memang keduanya tak bisa terpisah. Sesudah shalat pada waktunya dan membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, manusia paling baik akan berjuang di tengah-tengah manusia. Ia akan berusaha memasukan rasa bahagia kepada orang lain, ia akan memperlakukan isteri dan anak-anaknya dengan baik, ia memperbaiki masyarakat dengan melakukan kontrol sosial yang penuh tanggung jawab dan lain-lain, karena memang kecintaan kepada Allah Swt. melalui kecintaan kepada sesama, dan kedekatan manusia kepada Allah Swt. dengan melakukan sopan santun kepada sesamanya. Inilah salah satu yang terkandung dalam pengertian tasawuf, seperti dikatakan seorang sufi besar Junaid Al-Baghdadi, �bertasawuf adalah engkau merasa bersama Allah Swt. dan Allah Swt. bersama engkau, dan kedekatan itu bisa dilakukan dengan menyantuni sesama, seperti menyantuni orang-orang yang hancur hatinya.�

Ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah Swt, �Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu, Allah Swt. menjawab, �Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya�.

Tetapi, ketika tugas ganda ini terlepas dari manusia, Allah akan menempatkan manusia ke tempat yang sangat hina (neraka), mereka menjadi manusia yang tak berarti, manusia yang lebih sesat, lebih keji, dan lebih kejam daripada binatang, dan ketika itu tidak akan ada yang namanya kebaikan, kesejahteraan, dan kedamaian, baik buat dirinya maupun buat masyarakatnya. Allah Swt. berfirman:

�Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai�. (QS. Al-A�raf: 179).

Dengan begitu, manusia unggulan dalam perspektif tasawuf yaitu mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok ini, tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama. Wa All�hu a�lam bi ash-shaww�b.

sumber :

Ditulis oleh Abdul Rouf, Lc, MA, peserta Pendidikan Kader Mufasir (PKM) PSQ dan dosen Uin Syahid Jakarta.

Kamis, 13 Januari 2011

Simpruk Meeting

Masih kelanjutan dari rencana Seminar Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Ulang Tahun PT Amythas. Hari ini tgl 12 Januari 2011, Bertempat di kantor PNPM MP/P2KP- Simpruk agenda pertemuan membahas topik dan materi seminar, termasuk para pembicara dan moderator. Dipaparkan oleh CW, dikomentari yang hadir : MM, IT, SnY, ML dan Sd/Amythas. Meeting selesai sekitar pukul 10 yang dilmulai dari pukul 8.30.
Diskusi mengerucut ke tiga topik : Topik pertama terkait dengan ideologi dan mazhab pemberdayaan; yang kedua terkiat dengan topik pengamalam implementasi program pemberdayaan dan yang terakhir model-model partnership pelaksanaan program pmberdayaan.
Kesan saya, ternyata semakin mengerucut ke hal-hal teknis implementatif dan real, semakin sulit menemukan materi, pembahas, bahkan moderator. Adakah ini pertanda bahwa pemberdayaan masyarakat kita memang masih lebih banyak berkutat di ranah teoristis, idealis??? Entahlah !!!

Sabtu, 08 Januari 2011

Mezaluna-Kemang

Menarik sekali diskusi tentang usulan tema dan topik seminar yang digagas Amythas. Karena yang hadir adalah para 'suhu' pemberdayaan masyarakat, maka tema dan topik usulan tidak jauh dari hal tersebut. Ada Kang Sony, pak Catur, Mas Hary Pras, Mas Bagus, Pak Sunaryanto, Mas Imam Krismanto, Ibu Fita dan pak Maulana. Diskusi dibuka dan dipimpin langsung Bpk Moeljadi S. di dampingi pak Eri Heryadi selaku pendiri dan Dirut PT Amythas.